Friday, February 8, 2008

Wacana Tentang Keimanan Religius

http://www.wisdoms4all.com/Indonesia/doc/Kalam%20Jadid/15.htm

Iman, keyakinan, harapan, dan cinta merupakan nilai-nilai utama yang memberikan aroma semerbak bagi kehidupan manusia. Tentang substansi iman, lebih banyak berkaitan dengan ruang lingkup agama. Fungsi dan kedudukan iman telah terkonstruksi secara sempurna dalam literatur agama.

Sejak zaman dahulu, para pengkaji dan periset di bidang teologi dan filsafat melakukan observasi ihwal keimanan berdasarkan perspektif agama Islam maupun Kristen.

Dalam konteks Islam, perubahan politik dan sosial yang terjadi setelah perang Shiffin yang dimotori oleh kelompok Khawarij dan kelompok Murji’ah merupakan alasan utama atas pengkajian tentang keimanan tersebut, begitu pula motivasi-motivasi keagamaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi orang-orang Mukmin juga mempunyai peran yang signifikan dalam kelanjutan pengenalan keimanan dan lahan bagi penelitian kembali perkara-perkara dalam agama, rasionalitas, dan syuhud; atas dasar ini, begitu banyak muncul pertanyaan-pertanyaan tentang esensi iman dan hal-hal yang terkait dengannya ditujukan kepada tokoh-tokoh agama
[1].


Dialog-dialog keimanan dari sisi fenomenologi, antropologi, eskatologi, dengan tema-tema tentang hakikat iman, rukun iman, hubungan iman dan pengetahuan, perbuatan, serta pengalaman mistik, hubungan akal dan iman, tingkatan keimanan, dan faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya iman.

Makna Iman


Kata iman dalam bahasa Arab berasal dari kata âmana, yu’minu, îmânan, yang berarti mempercayai dan meyakini. Dalam al-Qur`an makna iman digunakan sebagai perbuatan dari iman atau kandungan kepercayaan atau terkadang digunakan kedua-duanya.[2]

Hakikat, Rukun dan Syarat Iman dalam Perspektif Teolog dan Filosof Islam


Para teolog dan filosof Islam berbeda pendapat tentang hakikat, rukun dan syarat iman. Apakah iman adalah pengakuan secara lisan atau keyakinan hati dan perbuatan baik ataukah gabungan dari keduanya? Para teolog Syiah Imamiah meyakini bahwa iman secara mendasar adalah keyakinan hati terhadap Tuahn, Rasul dan risalah-Nya. Oleh karena itu, pengakuan lisan dan perbuatan lahiriah dan bukan merupakan rukun dan syarat iman.[3]

Syaikh Mufid berpendapat bahwa iman adalah keyakinan hati, pengakuan lisan, dan perbuatan lahiriah[4]. Khawjah Nasiruddin Thusi mengartikan iman sebagai sebuah keyakinan hati di samping pengakuan lisan[5]. Para teolog Syiah Imamiah beranggapan bahwa iman dihasilkan dari argumentasi rasional terhadap keesaan Tuhan, keadilan Ilahi, Nubuwwah (kenabian), Imâmah (kepemimpinan Ahlulbait Nabi) dan Ma'âd (hari kebangkitan), dengan demikian mereka menerima rasionalitas agama dan keterkaitan agama dengan akal.

Sementara kelompok Khawarij memandang semua orang yang berdosa telah keluar dari kelompok ahli iman dan setara dengan orang kafir. Untuk itu Khawarij menganggap perbuatan baik sebagai rukun iman
[6]. Kelompok Asy’ari secara mendasar memiliki pandangan yang sama dengan Syi’ah Imamiah, tetapi Abul Hasan Asy`ari, sebagai pendiri mazhab ini, beranggapan bahwa iman adalah keyakinan hati, pengakuan lisan dan diikuti dengan perbuatan[7].

Bakilani juga mempunyai pendapat yang sama dengan Asy`ari
[8]. Murji`ah ,berlawanan dengan pandangan Khawarij, mengatakan bahwa perbuatan setelah keimanan dan setingkat dengan makrifat, namun para pengikut paham ini berbeda pendapat tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan keimanan[9]. Abu Hanifah menafsirkan iman sebagai pengetahuan terhadap Tuhan, pembenaran hati, dan pengakuan lisan[10]. Mu’tazilah disamping iman sebagai pembenaran hati juga menekankan perbuatan lahiriah[11]. Para pendahulu Ahlusunnah dan Hasyawiyah memaknakan iman sebagai rangkaian dari pembenaran hati, pengakuan lisan, dan pelaksanaan rukun-rukunnya.

Imam Ali bin Abi Thalib As bersabda, "Iman sebagai pembanaran hati, pengakuan lisan, dan pelaksanaan rukun-rukun serta mengamalkan keseluruhannya." Khawjah Nasiruddin Thusi, dalam kitab Tajrid al-I’tiqâd, dengan bersandarkan pada ayat:
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan"[12], dan juga ayat: "Maka delapan puluh sembilan dari surat al-baqarah setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya maka laknat Allah swt lah atas orang-orang yang ingkar itu"[13], berpandangan bahwa iman adalah pembenaran hati tanpa pengakuan lisan, dan juga bersandarkan pada ayat: "Orang-orang arab badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah kepada mereka: "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk kedalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"[14], menyatakan bahwa iman dengan pengakuan lisan tanpa pembenaran hati tidaklah cukup.

Para ahli fiqih pada umumnya berpendapat bahwa iman adalah urusan hati dan lisan, pembenaran hati tanpa pengakuan lisan atau sebaliknya tidaklah benar. Adapun kelompok Karamiah meyakini hakikat iman sebagai pengakuan secara lisan terhadap kebenaran pokok-pokok agama dan pembenaran hati dan prilaku baik tidak memiliki pengaruh atas keimanan
[15]. Kelompok Syi’ah Isma’iliah membedakan antara iman lahiriah dengan iman batiniah, iman lahiriah adalah pengakuan secara lisan sedangkan iman batiniah (hakiki) dicapai lewat pengalaman akal atau hati.[16]

Para filosof memaknakan iman hakiki sebagai pengetahuan filosofis terhadap Sebab Pertama (baca: Tuhan atau mabdâ) dan hari kebangkitan (ma'âd), dan pengetahuan terhadap mabdâ ini mencakup sifat, perbuatan, dan bukti-bukti keberadaan-Nya, sementara pengetahuan tentang ma'âd meliputi makrifat jiwa, keadaan alam akhirat, dan kenabiaan
[17]. Para teolog Islam telah membahas secara mendetail hal-hal berkenaan dengan kekafiran, kefasikan, keimanan, dan keterkaitan antara Islam dan iman

Pandangan Para Urafa Islam

Iman menurut urafa Islam merupakan perkara ikhtiar (freewill), karena Tuhan memerintahkan hal tersebut dan menjadikan iman sebagai bukti kuat dan sempurna bagi mahluk-Nya. Terdapat beberapa ungkapan yang dapat dipahami bahwa iman merupakan hakikat hati, karena mungkin saja banyak orang yang sampai kepada tingkatan makrifat keimanan dan, dengan mukjizat Nabi, mencapai pengetahuan terhadap hakikat-hakikat agama, tetapi karena kezaliman, cinta kekuasaan, dan hasad tidak mengungkapkan secara lahiriah pembenarannya terhadap hari kiamat dan hati-hati mereka tidak sinari dengan cahaya iman.


Para arif membagi iman menjadi dua bagian yaitu, iman teoritis dan iman hakiki, iman hakiki dicapai melalui syuhud dan mukasyafah. Mereka menganggap bahwa iman dan akal seiring satu tarikat (baca: syariat), selama manusia belum bersyariat mustahil mencapai kesempurnaan iman
[18]. Mereka juga membagi tauhid menjadi empat tingkatan, yang pertama adalah tauhid keimanan kemudian tauhid ilmiah, tauhid qalbi dan tauhid Ilahi. Mereka mendefinisikan tauhid keimanan sebagai pembenaran hati dan pengakuan lisan terhadap keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan kelayakan penyembahan hanya kepada-Nya yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Tauhid keimanan ini dimiliki oleh semua orang-orang Mukmin, namun pada tiga tingkatan tauhid yang lain terdapat perbedaan di antara kaum Mukmin.[19]


Kaum arif menganggap segala sesuatu yang bersumber dari Nabi tidak memerlukan pertimbangan akal dan takwil[20]. Perlu disebutkan bahwa sebagian urafa memisahkan antara amal dan iman, amal tidak termasuk rukun iman[21], dan sebagian lagi memandang kehendak, cinta, loyalitas, dan yakin bersumber dari hakikat iman[22]. Poin yang perlu diperhatikan bahwa urafa meyakini adanya tingkatan keimanan[23], dan menganggap bahwa kekafiran dan keimanan merupakan dua hal yang bisa berkumpul, tetapi mereka menafsirkan kekafiran di sini bermakna fana[24] sementara keimanan bermakna kekal setelah fana (baqa ba'd al-fana)[25].[26]

Iman dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an terkadang memaknakan iman sebagai lawan dari kemunafikan dan terkadang lawan dari kefasikan, dan sekedar pengakuan lisan tidak dikategorikan sebagai hakikat iman
[27]. Tapi pendefinisian keimanan sebagai amal shaleh, tapi dengan memperhatikan kata sambung dalam al-Qur'an, petunjuk Tuhan kepada kaum mukmin, dan pelaku amal shaleh, pendefinisian ini kurang tepat[28]; karena mendefinisikan iman sebagai amal shaleh meniscayakan pengulangan tak bermakna dalam ayat-ayat al-Qur'an. Dari berbagai ayat dapat disimpulkan bahwa hakikat iman merupakan perkara hati, bukan lisan dan perbuatan[29]. Iman adalah cahaya yang dengannya Tuhan memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya[30]. Hidayah Ilahi menyebabkan turunnya berkah, penghambaan, dan menciptakan rendah hati bagi manusia.[31]

Karakteristik-karakteristik iman dalam al-Qur’an, antara lain:
  1. Iman merupakan ikhtiar manusia, karena telah diperintahkan manusia untuk beriman dan menjauhi kekafiran, Tuhan mencela orang-orang kafir dan akan menyiksa mereka di akhirat[32], begitu pula Dia tidak memaksa manusia untuk beragama, beriman[33], dan kafir[34].
  2. Iman didasari oleh makrifat.[35]
  3. Iman dilandasi oleh keyakinan[36] dan tidak dilandasi oleh keraguan dan prasangka.[37]
Para teolog Syi`ah Imamiah juga menekankan bahwa makna iman sebagai pembenaran hati dan keyakinan[38]; tapi bukan hanya keyakinan pengetahuan bahkan pembenaran hati yang disertai dengan pengakuan lisan[39]. Adapun tentang apakah keyakinan dalam iman mesti keyakinan logikal ataukah keyakinan rasional ataukah keyakinan biasa? Makna lahiriah ayat-ayat al-Qur’an menunjukkan semua bentuk keyakinan dan penerimaan hati.

Amal bukan rukun iman, melainkan penjelmaan iman.
[40]

Dan adapun tentang manfaat-manfaat dan efek-efek iman juga banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an, sebagai contoh keberuntungan
[41], ketakwaan dan spritual[42], keseimbangan jiwa[43], keberkahan dunia[44], perbuatan baik[45], pengetahuan jiwa[46], kecintaan yang sangat kepada Tuhan[47], tawakal kepada-Nya[48], petunjuk hati[49], hilangnya rasa takut, bimbang, dan sedih[50], ketegaran mukmin[51], ketenangan jiwa. [52] Adapun hal-hal yang berkenaan dengan kuat dan lemahnya iman banyak diisyaratkan dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat Nabi.[53]

Dalam kitab Ushul Kâfi dijelaskan bahwa iman memiliki tujuh bagian dan tingkatan.
[54] Jika kita pahami bahwa iman berupa keyakinan hati atau pengakuan lisan atau gabungan keduanya, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah keimanan dapat kita terima sebagai hal yang bisa bertambah atau berkurang ataukah dengan hanya menafsirkan iman sebagai amal shaleh kita bisa menjelaskan tingkatan-tingkatan iman? Sebagian penulis membenarkan pertanyaan kedua ini;[55] sementara mereka bisa menerima adanya tingkatan-tingkatan keyakinan hati. Walhasil semua teolog mengakui iman bisa bertambah atau berkurang.[56]


Poin lain adalah hal-hal yang berhubungan dengan iman di dalam al-Qur’an dapat berupa kebenaran dan kebatilan. Allah Swt berfirman di dalam ayat lima puluh dua surat an-kabut: "Dan orang-orang yang percaya (iman) kepada yang batil dan ingkar kepada Allah Swt, mereka itulah orang-orang yang merugi". Para teolog Islam berpandangan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan iman adalah tauhid, keadilan, kenabian, imamah, dan hari kebangkitan.[57]

Persepsi Para Filosof dan Teolog Kristen Barat

Para filosof dan para teolog Kristen Barat juga membahas tentang keimanan religius ini. Iman menurut Thomas Aquinas adalah pembenaran seorang mukmin atas suatu realitas dengan bukti-bukti tak sempurna, dan berdasarkan pilihan dan kehendak ia meyakini realitas itu dan perkara-perkara gaib yang berkaitan dengannya. Keberadaan bukti-bukti tak sempurna ini merupakan bukti bahwa iman tidak bertolak belakang dengan aspek rasional, akan tetapi iman ini tidak melebihi derajat keyakinan dan musyahadah. [58] Poin yang menarik adalah bahwa Thomas Aquinas, dengan persepsi keimanan seperti itu, juga berupaya menetapkan eksistensi Tuhan dengan membangun lima argumen.

Martin Luther - seorang pendiri gerakan pembaharuan gereja - menafsirkan iman sebagai kepercayaan terhadap Tuhan[59] dan Schleiermacher menjelaskan iman sebagai sebuah rasa kebergantungan. [60] Orang seperti William james yang menolak dalil-dalil pembuktian atau pengingkaran eksistensi Tuhan, tidak memandang iman sebagai makrifat yang pasti; atas dasar ini, ia menafsirkan iman dalam aspek fungsional dan utilitarian[61]. Paul Tilliche memahami iman sebagai suatu kondisi kebergantungan kepada tujuan akhir dan landasan iman adalah kebergantungan itu sendiri.[62] Ia meyakini bahwa perbuatan iman adalah perbuatan suatu maujud yang terbatas yang diliputi oleh realitas tak berhingga (baca: Tuhan), sehingga pada akhirnya ia akan mencapai realitas yang tak berhingga itu.[63]

Penafsiran-penafsiran berbeda tentang iman dari teolog barat, khususnya hubungan iman dan akal, telah menciptakan keraguan baru dalam rasionalitas keimanan. Soren Kierkegard memandang bahwa iman berlawanan dengan rasional, dan Ludwig Witgenstein juga beranggapan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, tetapi berbeda dengan Thomas Aquinas yang memandang iman dan akal memiliki hubungan timbal balik. Sebagai contoh, di barat terdapat tiga persepsi tentang keimanan kepada Tuhan:


Pertama
, kaum ateis meyakini bahwa manusia yang menciptakan Tuhan dan beragama tidak bermanfaat.

Kedua
, kaum yang meyakini bahwa manusia yang menciptakan Tuhan, tetapi beragama tetap mempunyai nilai dan manfaat. Don Cupit, seorang teolog kontemporer Eropa, menekankan hal ini.

Ketiga
, kaum yang meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia dan kewajiban yang paling penting bagi manusia adalah beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Kaum ini adalah kelompok yang bersungguh-sungguh beragama.


Dengan berpijak pada tiga persepsi ini, iman dapat ditafsirkan dan membandingkan hubungan iman dan akal. Menurut Don Cupit, iman merupakan perjanjian bebas dengan nilai-nilai Ilahi dan berhubungan dengan cara-cara kehidupan. Don Cupit lalai bahwa pendapatnya ini bertentangan dengan persepsi kedua yang didukungnya, karena dengan ketiadaan Tuhan bagaimana mungkin manusia membuat perjanjian dengan nilai-nilai Ilahi tersebut.[64]

Faktor-Faktor Keimanan Religius

Terdapat beberapa faktor yang mewujudkan dan menguatkan keimanan religius, antara lain:

1. Fitrah manusia untuk beragama

Dalam sejarah agama terbuktik bahwa keimanan religius dan kecenderungan beragama merupakan dua hal yang bersifat fitrah, mungkin inilah penyebab keabadian agama. Keinginan beragama, beribadah kepada Yang Maha Sempurna, rasa ingin mengetahui kebenaran, dan keinginan akan keindahan merupakan kecenderungan-kecenderungan alami jiwa. Hal terpenting yang berpengaruh meningkatkan keberagamaan tidak lain adalah mengingatkan manusia atas fitrahnya. Fenomena-fenomena kehidupan dunia, seperti kenikmatan, bencana, kebaikan, keburukan, sakit, penderitaan, dan ketakberdayaan, merupakan aspek-aspek pendidikan yang sangat bernilai bagi orang-orang yang berakal. Betapa banyak orang-orang kaya menjadi miskin atau sebaliknya orang-orang miskin menjadi kaya, kemudian berubah menjadi orang-orang yang sangat beragama. Kenyataan-kenyataan lainnya, seperti penyakit, masa tua, kematian, dan lainnya merupakan peringatan bagi manusia untuk kembali merenungkan tujuan hidupnya, membangkitkan fitrahnya, dan menguatkan keimanan religius.

2. Pengetahuan argumentatif.

Beragama dengan kesadaran rasional-filosofis dan logikal sangat berpengaruh dalam peningkatan keimanan. Tanpa diragukan bahwa orang-orang yang memahami eksistensi Tuhan dengan argumentasi rasional-filosofis, seperti argumentasi wujub dan imkan, shiddiqin, imkan al-faqri, akan meraih kepuasan pikiran dan keyakinan logis tentang eksistensi Tuhan, dengan demikian akan meningkatkan keimanan religiusnya.

3. Menjalankan kewajiban agama dan etika

Meskipun pelaksanaan kewajiban agama tidak disinggung dalam definisi dan esensi iman, akan tetapi ia memiliki peran yang mendasar dalam peningkatan keimanan. Dalam berbagai ayat dijelaskan bahwa amal shaleh berperan dalam peningkatan iman
[65]. Imam Ali As juga meyakini bahwa jihad di jalan Tuhan dan bersedekah dan … sangat mendorong peningkatan keimanan, beliau bersabda, "Di samping Rasul saww kita berperang dengan ikhlas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kita tidak takut kepada siapapun, bahkan kita siap memerangi orang-orang tua kita, anak-anak, saudara-saudara, paman-paman kita jika mereka menentang kebenaran. Perang ini menambah keimanan kita. "[66] "Jagalah iman kalian dengan sedekah dan jagalahlah harta kalian dengan mengeluarkan zakat serta jauhkanlah bencana dengan do’a".[67] "Kokohnya iman dengan empat pondasi: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan jihad".[68] "Iman merupakan jalan yang paling lurus dan cahaya yang paling terang, manusia dalam naungan iman akan menemukan jalan untuk beramal baik dan dengan amal shaleh ini akan mengantarkannya ke puncak keimanan".[69] "Keimanan seorang hamba tidak akan sempurna kecuali dengan hati yang bersih, ikhlas, tulus, dan benar. Dan hati tidak akan bersih kecuali dengan lidah yang terjaga".[70] "Bersabarlah dan konsistenlah dalam setiap amal, dimana kesabaran bagi keimanan seperti kepala bagi tubuh, dan badan tanpa kepala tidak berguna, begitu pula keimanan tanpa kesabaran tidak akan membuahkan hasil."[71]

4. Lingkungan dan budaya yang sesuai dengan agama

Orang-orang beriman seharusnya berupaya menyiapkan lingkungan dan mewujudkan budaya keagamaan yang menunjang perkembangan keimanan diri dan keluarganya. Dan semestinya menjauhi kehidupan sekuler dan rekan-rekan yang tak beriman yang bisa mempengaruhi secara negatif kesempurnaan iman.

Penghalang-Penghalang Keimanan Religius

Terdapat beberapa penghalang-penghalang keimanan yang semestinya diselesaikan oleh orang-orang yang beriman. Keraguan eksistensial, skeptisisme argumentatif, relativisme kebenaran, dan dosa merupakan kendala-kendala utama keimanan. Sebagai contoh, prilaku yang tidak etis dari seorang ulama bisa menjadi sumber keraguan orang atas kebenaran, adanya kontradiksi antara ilmu (baca: sains) dan agama, argumentasi pengingkaran Tuhan, akan memunculkan skeptisisme argumentatif (karena suatu argumentasi pengingkaran Tuhan yang kelihatannya benar akan menyebabkan seorang ragu tentang eksistensi Tuhan, keraguannya itu tidak akan sirna hingga ia mendapatkan dalil-dalil yang bisa meruntuhkan arggumentasi pengingkaran Tuhan itu), atau kejadian alam (seperti, banjir, gempa bumi, tsunami) menjerumuskan sebagian orang pada keraguan keberadaan Tuhan (karena sebagian mereka tidak bisa memahami bahwa jika Tuhan berada kenapa mesti terjadi malapetaka alam yang merugikan banyak manusia).

Orang-orang beragama harus, pertama memisahkan antara tokoh agama dan hakikat kebenaran agama, jangan sampai prilaku-prilaku yang tidak etis dari para tokoh agama tersebut kemudian menjerumuskan mereka kedalam skeptisisme. Kedua, hendaklah mereka merujuk kepada dalil-dalil kebenaran agama dan masalah-masalah seputarnya supaya mereka memahami kesalahan berpikir sebagian orang yang tidak menganut agama, dengan demikian keimanan dan keyakinannya tetap utuh.


Relativisme kebenaran juga merupakan fenomena yang banyak menggoyangkan keimanan orang-orang beragama. Latar belakang lahirnya relativisme kebenaran ini akibat perselisihan di antara para tokoh agama, sebagaimana Protagoras di Yunani tertarik kearah relativisme akibat perselisihannya dengan para tokoh agama. Orang-orang Postmodernisme, dengan alasan adanya perselisihan di antara para tokoh agama, menyebarluaskan paham relativisme ini, sementara mereka lalai bahwa di antara para ilmuwan dalam berbagai bidang juga terdapat perbedaan dan perselisihan pemikiran. Dengan demikian, perbedaan dan perselisihan pendapat bukan suatu alasan mendasar bahwa kebenaran yang ada pada mereka menjadi relativ. Di antara para tokoh agama terdapat kesamaan pemikiran dan juga sisi perbedaan pandangan, oleh karena itu, relatipitas adalah hal yang wajar dalam sumua bidang keilmuan dan pemikiran, tetapi relativitas ini bukan dalil atas ketiadaan kebenaran mutlak pada setiap bidang ilmu. Jadi relativisme bukan alasan penolakan terhadap keberadaan kebenaran mutlak. Fenomena lain yang melemahkan keimanan reigius adalah perbuatan maksiat dan dosa, betapa banyak orang-orang mukmin kehilangan keimanan religiusnya karena melanggar larangan dan meningalkan kewajiban agama, akhirnya mereka terjerembab dalam perselisihan.


Perdebatan tentang Keimanan

a. Perdebatan antara agama, iman, dan perubahannya

Sebagaimana agama memiliki nilai-nilai tetap yang mencakup keyakinan, moral, hukum, nilai-nilai tasawuf, perkara lahiriah dan batiniah, maka iman juga memiliki nilai-nilai yang beraneka ragam. Nilai-nilai yang beragam ini dari agama dan iman memiliki hukum yang berbeda-beda, sebagai contoh nilai-nilai tetap agama dan iman yang berupa keyakinan, hukum, dan akhlak, yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk tradisi-tradisi, adab-adab, politik, kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Manifestasi-manifestasi agama dan iman ini niscaya akan mengalami perubahan secara evolusional atau revolusional.

Akan tetapi nilai-nilai tetap dari agama - yang kemudian menjelma dalam bentuk-bentuk seperti di atas - tidak akan mengalami perubahan dalam koridor ruang dan waktu
[72]. Akan tetapi pengalaman mistik dan spiritual cenderung mengalami perubahan dan penuh misteri.[73]

Sebagian penulis keliru menempatkan agama sebagai lawan ekstrim dari iman, hal ini karena mereka membatasi agama pada akidah dan hukum fikih sementara iman hanya berhubungan dengan pengalaman mistik dan irfan
[74]. Mereka ini lupa bahwa agama dan iman memiliki keterkaitan esensial satu sama lain, agama memberikan kualitas tertentu bagi iman, tingkatan iman terwujud dari kualitas pengamalan yang berbeda terhadap hukum-hukum agama. Derajat terendah iman adalah bergantung, berserah diri, dan beramal atas ajaran, hukum, dan akhlak agama. Derajat tertinggi keimanan adalah mencapai pengalaman irfan, mistik, dan spiritual serta menjadi monoteis sejati.[75]

Dengan demikian, adanya pemisahan antara agama dan iman, syariat dan hakikat, ketaatan orang awam dan ketaatan mukmin, dan penyembahan hamba kepada "Tuan" dan penyembahan pecinta kepada "Yang dicintai", lahir dari analisa yang keliru terhadap tingkatan-tingkatan iman yang bersumber dari kualitas apresiasi yang beragam atas ajaran agama.
[76]

b. Perdebatan antara keimanan dan kebebasan

Perdebatan ini dibahas dalam teologi tradisional maupun teologi kontemporer. Ayat dua puluh sembilan surat al-kahfi yang berbunyi: "Maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir", ayat ini menunjukkan secara jelas kebebasan manusia dalam keimanan. Atas dasar ini, Syi’ah Imamiah dan Mu’tazilah menganggap beriman sebagai refleksi perbuatan manusia, tetapi Asy`ari menganggap beriman sebagai murni kehendak Tuhan, sementara Maturidiah memandang berman sebagai murni kehendak Tuhan, namun kualitas iman bergantung pada penilaian manusia[77]. Sebagian peneliti teologi mempunyai persepsi bahwa keimanan religius yang dibarengi dengan hukum syari’at dan akhlak tidak sesuai dengan kebebasan manusia dan menganggap bahwa keimanan yang seiring dengan kebebasan hanyalah keimanan yang dicapai lewat pengalaman religius[78].

Apabila kita pahami hakikat iman itu sebagai perubahan wujud manusia yang bersumber dari penerimaan total kebenaran, tujuan kehidupan tak lain penghambaan kepada-Nya, pelaksanaan kewajiban-kewajiban, dan pengakuan secara lisan, maka kita akan mencapai keyakinan hati dan pengetahuan yang benar, dan jika kita menafsirkan iman sebagai kebergantungan mutlak manusia kepada eksistensi Tuhan, maka iman bukan hanya bertentangan dengan kebebasan, bahkan iman adalah kebebasan itu sendiri, karena kebebasan berarti lepas dari segala syarat-syarat dan batasan-batasan, dan "menceburkan" wujud kita dalam keberadaan mutlak.


Dengan memahami pengertian "iman" dan "kebebasan", kita dapat menyimpulkan bahwa kebebasan bisa mengantarkan manusia kepada eksistensi mutlak (baca: Tuhan) dan membuat kehendak dan perbuatan manusia mengikuti kehendak agama (tasyri’i) dan kehendak alam (takwini). Kebebasan ini, senantiasa berbarengan dengan unsur-unsur kepercayaan, harapan, cinta, rasa aman, daya tarik, keyakinan puncak.

Jika dalam agama Islam ditekankan keimanan kepada para Nabi, terkhusus Nabi terakhir Muhammad saww, iman kepada wahyu, ajaran Nabi, makrifat-makrifat, dan syari’at, karena untuk mencapai kebebasan mutlak mustahil diraih dengan lewat akal dan pengalaman manusia. Disamping itu, pencapaian pengalaman spiritual dan kesempurnaan tauhid hanya bisa diraih dengan pengamalan dan apresiasi semua ajaran agama.

Mengingat bahwa di dalam ajaran agama juga diisyaratkan tentang politik dan pemerintahan, maka keimanan religius senantiasa bersama dengan politik dan pemerintahan agama, seorang politikus harus berupaya menyesuaikan langkah-langkah dan pemikiran politiknya dengan kewajiban-kewajiban dan makrifat agama agar tidak keluar dari jalan Mutlak Ilahi.

Iman sebagai Produk Budaya Lisan

Sebagian penulis mempersepsi bahwa subtansi iman ialah hubungan, reaksi, keterikatan, dan ketertarikan seseorang kepada pembicara (baca: Nabi); hubungan ini sedemikian sehingga mempengaruhi alam pikiran manusia[79]. Penulis ini, menafsirkan karakteristik khusus iman lewat pendekatan pengalaman religius dan wejangan langsung kepada kaum mukmin (ayat-ayat al-Qur'an dan hadis yang berkaitan langsung dengan mukmin) serta memandang akidah pasca iman dan pengamalan agama.

Penulis ini beranggapan bahwa iman bersumber dari wahyu dan wahyu dipandang sebagai fenomena sejarah, ia berkata, "Ayat-ayat al-Qur'an merupakan produk budaya lisan dan setelah Rasulullah wafat, budaya lisan ini berganti menjadi budaya tulisan dan al-Qur'an sekarang ini merupakan produk budaya tulisan. Penulis yang menafsirkan iman sebagai pengalaman religius berkata, "Orang-orang yang memiliki pengalaman religius dan para Nabi, sebisa mungkin melewati batasan-batasan hidup manusia seperti, sejarah, masyarakat, waktu, dan bahasa; oleh karena itu kita tidak bisa menganggap satu ajaran agama sebagai ajaran agama terakhir, ajaran dan makrifat agama ini harus senantiasa dikritisi secara filosofis, meskipun argumentasi-argumentasi filosofis secara langsung tak melahirkan iman, tapi iman serta pengalaman keimanan (sebagai perkara yang muncul di luar ikhtiar manusia) lahir dari tradisi-tradisi agama dan penerimaan ajaran suci Ilahi.


Penulis ini menentang analisa-analisa rasional para teolog tentang keimanan, tetapi menerima kritikan-kritikan filosofis atas keimanan.
[80]

Kesalahan-kesalahan dari penulis ini, dapat di koreksi dari sisi metodologi, epistomologi, teologi:


Pertama
, pengalaman mistik orang-orang beragama yang di sejajarkan dengan pengalaman Rasulullah dan wahyu Ilahi, dipandang sebagai sumber agama. Pandangan ini sangat mengherankan, karena agama dan keimanan setiap orang tidak bersumber dari Kitab Suci dan hadis Nabi melainkan bersumber dari pengalaman-pengalaman mistik setiap manusia; disamping itu betapa banyak orang-orang beriman tidak mencapai pengalaman mistik, irfan dan syuhud, sementara tidak ada keraguan bahwa mereka beragama dan memiliki keimanan religius.

Kedua
, seorang penulis makalah yang bertopik "Parwoz dar Aberhoy-e Nadosytan", menolak keabsahan dan hujjah kalam Ilahi dan al-Qur'an serta menerima bahwa agama dan sumber-sumbernya merupakan produk sejarah manusia. Ia menganggap al-Qur'an sebagai produk budaya tulisan manusia (sebagaimana kitab Injil kaum Nasrani) setelah wafatnya Rasulullah saww. Hal ini tidak benar, karena setelah wafatnya Rasulullah saww pernah berlangsung penyatuan mushaf al-Qur'an dan bukan penyusunan al-Qur'an, yakni al-Qur`an ditulis oleh para penulis wahyu pada zaman hidupnya Rasulullah saww, akan tetapi karena ayat-ayat al-Qur'an pada saat itu belum diberikan tanda baca, maka pada sebagian ayat-ayat al-Qur'an terjadi keragaman pembacaan dan pengucapan (qiraah), hal ini kemudian berujung pada perbedaan mushaf. Saat itu pasca wafatnya Rasulullah saww hanya qiraah seorang sahabat yang bernama 'Ashim yang di terima. Kemukjizatan dan kandungan tertinggi al-Qur'an merupakan bukti bahwa bukan produk budaya manusia dan berada jauh di atas sejarah.

Ketiga
, Firman Tuhan dalam berbagai ayat al-Qur'an mengajak seluruh manusia kepada Islam. Ayat-ayat ini juga bersifat umum dan tidak berhubungan dengan sejarah khusus manusia. Sang penulis ini memandang sama antara ajaran Islam dan ajaran Kristen serta menghukumi Islam dengan kriteria-kriteria agama Kristen.

Keempat, kesalahan lain dari penulis makalah tersebut adalah bahwa ia mengartikan iman sejenis pengalaman religius dan merupakan perkara di luar ikhtiar manusia, padahal iman adalah sebuah hakikat yang dicapai oleh menusia, hakikat iman tidak bisa disamakan dengan pengalaman religius dan pengalaman irfani, meskipun pada tingkatan tertentu dari iman memiliki kesamaan dengan pengalaman irfani.

Kelima, penggabungan antara iman dan skeptisisme, merupakan penyimpangan lain dari makalah ini. Iman tidak terwujud tanpa keyakinan dan iman mustahil diperoleh dengan skeptisisme. Maka dari itu, ketiadaan kepercayaan kepada ajaran-ajaran suci agama hanya akan melahirkan ketakberimanan, dan keraguan filosofis merupakan sumber peniadaan iman.

Iman Sebagai Kepercayaan dan Penyerahan Diri


Penulis lain menganggap keimanan religius adalah kepercayaan dan penyerahan diri seseorang yang diikuti dengan tawakal, dan memandang bahwa pada setiap iman disamping mengandung akidah juga terdapat tawakal, kepercayaan, kebaikan kecintaan, khusu', dan ketaatan. Ia - berdasarkan ayat 2 surat Anfal, ayat 15 dan 16 surat Sajdah - munjukkan bahwa iman bisa berkurang atau bertambah dan penggabungan antara iman dan ketidakyakinan bukan hanya merupakan hal yang mungkin terjadi bahkan ketidakyakinan merupakan faktor tumbuhnya iman. Ia juga meyakini bahwa semakin berkurang keyakinan, maka potensi iman semakin bertambah banyak. Ia menganggap pengalaman religius sebagai faktor lahirnya iman, dan kritikan terhadap pengalaman religius bisa menghilangkan penghalang-penghalang untuk sampai kepada keimanan religius. Ia beranggapan bahwa pertanyaan dan kritikan itu memang akan mengguncang keimanan orang awam, tapi tidak akan pernah memusnahkan kecenderungan beragama[81].

Perspektif di atas juga berpengaruh terhadap krisis iman, berikut ini kritikan-kritikan atas gagasan tersebut:


Pertama
, Penafsiran penulis makalah "Imon wa Ummid" sejalan dengan penganut Fideisme Kristen seperti Ludwig witgenstein dan Soren kierkegaard. Orang-orang fideisme berpandangan bahwa kepercayaan dan keimanan religius tidak berkaitan dengan akal-pikiran dan memandang akal berlawanan dengan iman. Atas dasar ini, mereka berupaya menyatukan keimanan dan skeptisisme.

Kedua, sebagaimana yang lalu, tentang ketidaksesuaian iman dan skeptisisme dan ketidakharmonisan iman dengan akal-pikiran, makrifat, manfaat dalam koridor akal manusia. Skeptisisme bisa menggoyang agama dan keimanan kalangan awam dan kalangan tertentu. Hal ini sangat mengherankan, karena penulis ini mengakui bahwa kritikan dan keraguan berperan menghilangkan keimanan kalangan awam dan juga kalangan tertentu. Memang benar bahwa kritikan dan pertanyaan yang dialamatkan pada ajaran agama merupakan hal yang wajar dan diharuskan, tetapi dialog-dialog yang mengupas segala kritikan terhadap agama semestinya hanya di antara para ilmuwan dan tokoh agama yang telah menguasai epistimologi dan filsafat, bukan di gelanggang terbuka yang juga melibatkan kalangan awam, dimana menurut penulis tersebut, yang dapat menggoncang keimanan dan keberagamaan mereka.


Ketiga, pengalaman irfan para arif lahir dari keimanan religius; bukan iman yang menyebabkan pengalaman irfan. Apabila seorang arif tidak meyakini hakikat agama dan tidak bersuluk berdasarkan ajaran agama, maka mustahil ia mencapai darajat musyahadah dan mukasyafah irfan.

Kesesuaian Iman dengan Skeptisisme


Penulis makalah "Dawidan dar Pey Âwaz-e Hakikat" ingin menetapkan:


Pertama
, iman berlawanan dengan agama. Orang beragama menganggap alam sesuai dengan keyakinannya, sementara orang beriman berkata: saya harus mengenal alam secara bertahap dan saya mesti memahami tahap demi tahap realitas eksistensi yang terus berganti ini.

Kedua, realitas keberadaan ini terus berubah, oleh karena itu kita harus menerima perubahan dan pergantian keyakinan dan agama. Penulis makalah ini menganggap tetap dalam satu keyakinan adalah sejenis penyembahan berhala, atas dasar ini, ia memandang bahwa keimanan religius ialah senantiasa menyelami hakikat kebenaran dan bukan "mencicipi" dan "menikmati" hakikat kebenaran.

Ketiga, pengalaman religius merupakan sesuatu yang hadir dengan sendirinya dan tidak berkaitan sama sekali dengan perbuatan.

Keempat, penggabungan antara iman dan skeptisisme adalah mungkin terjadi, yakni iman berhubungan dengan anti dogmatisme, tidak menghakimi ajaran tertentu, argumentasi, dan skpetisisme.

Kelima, iman merupakan "proses mewujud" yang hanya terjadi dalam "kekosongan" makrifat.[82]

Semua gagasan di atas, berpijak pada relatipitas epistimologi. Disamping sanggahan-sanggahan atas dua makalah sebelumnya, juga terdapat kritikan-kritikan lain, yakni penulis makalah tersebut mengambil definisi iman dan agama dari buku "Hikmat bi Qarâr" (terjemahan dari) karya Allan Watc, dimana definisi ini adalah tidak sempurna dan tidak digunakan dikalangan para teolog dan filosof Islam maupun Kristen.

Jika ia menganggap bahwa realitas eksistensi ini senantiasa berubah dan seiring dengan itu terjadi perubahan dalam agama dan keyakinan, maka iapun harus menerima adanya perubahan dalam semua pandangan dan gagasan dalam makalah-makalahnya dan tak satupun dari pemikiran-pemikirannya yang tetap termasuk pemikirannya tentang perubahan itu sendiri. Jika kita terima pandangannya bahwa "tetap dalam keyakinan sejenis penyembahan berhala", maka tidak seharusnya ia memisahkan antara orang-orang beriman dengan para penyembah berhala, karena tak satupun manusia tanpa keyakinan, pasti ada pemikiran manusia, walaupun sangat sedikit, yang sesuai dengan realitas. Dengan demikian, penulis itu harus menganggap bahwa yang hanya beriman adalah orang-orang penganut relativisme.


Gagasan-gagasan keliru dari penulis makalah tersebut tentang keharmonisan iman dengan skeptisisme, kekosongan makrifat iman, dan kesejajaran iman dengan pengalaman religius tidak lain diadopsi dari kesalahan berpikir para filosof Barat. [www.wisdoms4all.com]

No comments: