Sunday, February 10, 2008

Mengupas Kulit Adorasi

http://www.kanisiusmedia.com/resensi_detail.php?idresensi=57

Judul Buku : Adorasi Ekaristi
Peresensi : Matheus BS
Dimuat di : Utusan, Juli 2007

Umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang minggu-minggu terakhir ini sedang mengalami ‘demam’ adorasi. Meski pastor-pastor paroki sudah menjelaskan panjang lebar tentang adorasi, masih banyak umat tetap bingung dan bertanya-tanya: apa itu adorasi? Dalam suatu pertemuan umat di lingkungan yang berada di pedusunan, mayoritas umat sudah masuk kategori lansia dan sebagian buta huruf, jangan heran memunculkan pertanyaan ‘unik’: mengapa kita disuruh untuk adol trasi? Katanya adol trasi berasal dari kata adoh lare. Maksudnya apa itu?

Bagi kaum lansia yang pendengarannya sudah agak eror, masuk akal jika adorasi dimengerti sebagai adol trasi, dan adorare ditangkap menjadi adoh lare. Mereka benar-benar menjadi bingung. Dan baru ngeh atau mudeng, ketika adorasi itu diterjemahkan menjadi astuti atau bersembah sujud. Bagi masyarakat Jawa, dua istilah yang terakhir itu bukanlah hal yang asing. Tanpa komando atau legitimasi otoritas tertentu, tradisi untuk bersembah sujud itu sudah mereka hidupi secara turun menurun. Hanya model dan caranya yang berbeda-beda. Ada yang senang kungkum (berendam) di sungai, mubeng beteng, puasa Senin-Kamis, berdoa tengah malam, mati raga atau sesirik, dan sebagainya. Semua itu mereka lakukan sebagai laku sembah sujud kepada Allah Sang Pencipta, awal dan tujuan manusia hidup (sangkan paraning dumadi).

Dalam laku sembah sujud itulah mereka memasuki alam yang neng (meneng -diam), ning (wening-hening) dan akhirnya nung (dunung-mengerti). Sayang sekali dalam berbagai penjelasan tentang adorasi ketiga hal itu hampir tak pernah disinggung. Mungkin dianggap terlalu njawani, mungkin juga mereka tidak tahu.

Memang harus diakui, adorasi adalah harta rohani Gereja universal. Tetapi jika harta itu ingin dibagikan dan dimiliki oleh berbagai suku dan bangsa, maka cara penyampaiannya sebisa-bisanya melalui pintu budaya suku atau bangsa setempat (inkulturasi). Dengan begitu umat setempat tidak hanya mengenal kulitnya, namun bisa mencecap saripatinya, bahkan kenyang dengan dagingnya.

Apakah dengan menghayati devosi Ekaristi, orang juga akan terbantu dalam menghayati Misa Kudusnya? Begitu pertanyaan pancingan, lalu dijawab: “Benar sekali!” Di satu pihak, devosi Ekaristi tidak setara dengan perayaan liturgi, yakni Perayaan Ekaristi. Bagaimanapun juga, devosi Ekaristi itu mengalir, bersumber, dan sekaligus terarap pada Perayaan Ekaristi (hlm. 48).

Kutipan tersebut perlu ditampilkan di sini agar umat memperoleh informasi yang jelas. Buku tipis tulisan Romo Martasudjita ini pun sebenarnya baru mengenalkan ‘kulit adorasi’ kepada umat. Memang berguna. Minimal umat jadi tahu apa itu adorasi menurut ajaran Gereja. Disusun dalam bentuk tanya jawab, pembaca jadi lebih mudah memahami. Jadi boleh dikata ini sebagai ‘buku pintar’ tentang adorasi. Dalam menjawab pertanyaan: Apa Adorasi Ekaristi itu? Jawabnya ada empat, antara lain, Adorasi Ekaristi adalah sebuah sebuat ibadat atau doa yang dilaksanakan umat beriman di hadapan Ekaristi Mahakudus atau Sakramen Mahakudus yang ditakhtakan. Jawaban lain, Adorasi Ekaristi merupakan salah satu bentuk dari macam-macam bentuk devosi Ekaristi yang hidup dalam Gereja Katolik. (hlm.11). simple kan?

Jika umat bertanya: Mengapa disebut Adorasi Ekaristi? Maka buku ini menjawab, disebut Adorasi Ekaristi karena dalam ibadat atau doa ini kita bersembah sujud atau melakukan tindakan sujud menyembah kepada Tuhan Yesus Kristus yang hadir dalam Ekaristi Mahakudus (hlm 13).

Jawaban tersebut (dalam sharing atau sosialisasi) perlu diberi penekanan khusus, syukur contoh-contoh sikap adorasi yang benar, agar umat yang lugu dan selama ini hanya hapal doa Bapa Kami serta Salam Maria tidak mengartikan adorasi sebagai perintah kepad umat untuk adol trasi.

Setelah mengenalkan kulitnya, mestinya Romo Marto atau penulis lain, menindaklanjuti dengan menerbitkan buku yang berisi saripati atau daging adorasi. Mereka bisa menimba pengalaman dari para kudus (santo/santa) yang hidup dan karyanya disemangati oleh adorasi. Misalnya riwayat Beata Marie de la Passion, pendiri Kongregaasi Fransiskus Misionaris Maria, atau riwayat Ibu Teresa dari Kalkuta. Kedua beata tersebut telah membuktikan bahwa adorasi kepada Sakramen Maha Kudus telah mampu memberi kekuatan yang luar biasa bagi karya mereka.

No comments: